ANTARA SUYATIN KARTOWIYONO DAN MARSINAH

Learning Organization  (LO)

Memeriahkan BMW edisi berikut ini, saya sajikan sebuah renungan yang bisa dipergunakan untuk bahan LO, yakni WKRI sebagai ormas yang seyogyanya terus belajar agar kiprahnya relevan bagi masyarakat yang dilayani.

 

Antara Suyatin Kartowiyono dan Marsinah”

(1)              Suyatin Kartowiyono, salah seorang organisator Konggres Indonesia I th 1928 yang sejak itu menjadi pemimpin Kowani dan pada th 1950 mengetuai Perwari, adalah seorang tokoh yang patut diperhatikan karena keberanian dan integritas pribadinya. Ketika masih gadis pelajar th 1923 ia pernah menerima hadiah arak-arakan Kartini yang diadakannya. Ia menolak menyembah Sultan Yogya sebagai protes terhadap feodalisme umumnya, tetapi khususnya terhadap cara perempuan di kraton diperlakukan “hanya sebagai barang untuk diperdagangkan, diambil sebagai selir ketika raja masih suka, dan diberikan kepada laki-laki lain setelah raja merasa puas”. Sesudah dewasa, dua kali ia memutuskan pertunangannya gara-gara sang pacar tidak membolehkan Suyatin bergerak di organisasi. Sang pacar -yang juga aktif di pergerakan- marah karena Suyatin sibuk mempersiapkan Kongres Wanita th 1930 di Surabaya. Suyatin memberi tanggapan yang menggambarkan semangat perjuangannya dengan : “Jika laki-laki merasa hati mereka patah karena saya berjuang untuk kaum wanita, itu urusan mereka!” (dikutip dari : “Penghancuran Gerakan Wanita di Indonesia”)

(2)              Marsinah adalah seorang buruh di sebuah perusahaan jam tangan di Sidoarjo. Kehidupan buruh di perusahaan itu kurang menguntungkan nasibnya. Upaya memperjuangkan kenaikan upah berkali-kali dilakukan tetapi gagal. Mereka berjuang lewat organisasi tenaga kerja di perusa-haannya, namun kandas, a.l. karena pimpinan organisasi tersebut lebih memihak kepada majikan. Marsinah terpanggil untuk berjuang bersama rekan kerjanya dengan mogok kerja. Hampir berhasil dengan janji-janji majikan untuk memperbaiki upah buruhnya, tetapi janji tinggal janji. Kembali Marsinah mengadakan pemogokan besar untuk memaksa majikan memenuhi janjinya. Marsinah ditangkap karena dianggap menjadi biang keladi keributan. Selama beberapa hari Marsinah tidak kelihatan di pabrik. Lalu ia ditemukan di suatu tempat dalam keadaan mati mengenaskan. Marsinah sementara gagal. Perjuangan Marsinah ternyata mengilhami pejuang-pejuang perempuan lain. Marsinah (alm) diberi penghargaan “Yap Thiam Hien”.

Sharing Pengalaman

a)     Apa perbedaan obyek yang diperjuangkan antara Suyatin dan Marsinah?

b)     Roh atau semangat apa yang hidup dalam pribadi kedua perempuan pejuang tersebut?

c)      Menurut ibu-ibu, masalah-masalah apa saja yang mendesak dan berada di depan mata kita yang menjadi obyek perjuangan kita di sini?

 

Refleksi Pengalaman

Wanita Katolik RI sebagai ormas dilahirkan th 1924 dalam suasana “perjuangan” untuk mengatasi keprihatinan perempuan. Kiranya pantas dan wajar jika WKRI Ranting Ungaran “napak tilas” semangat perjuangan mereka. Perempuan pejuang itu tidak mencari “kemapanan”, lalu stereotip tidak berubah. Menurut filsuf Heraclitos, “Tidak ada yang tetap selain perubahan itu sendiri”.  Artinya dalam diri perorangan maupun organisasi selalu akan mengalami perubahan, kecuali tidak pernah belajar dari masyarakat  di mana Gereja berada  dan hidup dalam dunia (bdk Gaudium et Spes). Berbahagialah sebagai perempuan murid Yesus Kristus diberi kesempatan, wahana dan lahan untuk mewujudkan iman dalam tindakan nyata, karena jika tidak maka firman Allah ini bisa menggugat kita, yakni :”Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya mati” (Yakobus 2:14-26). Status kegerejaan anggota Wanita Katolik adalah “awam”. Secara ekstrim awam mempunyai fungsi khusus yang tidak dilakukan oleh imam maupun biarawan. Oleh Konsili Vatikan II ditegaskan, “Tugas awam secara khusus ialah : menerangi dan menata semua ikhwal duniawi yang erat hubungannya dengan mereka, sedemikian rupa sehingga selalu terjadi dan berkembang sesuai Kristus, dan merupakan pujian bagi Pencipta dan Penyelamat” (Lumen Gentium 31 31; AA5). Karena itu nafas perempuan pejuang adalah “kegelisahan” : gelisah karena terancamnya kesetaraan gender, gelisah karena pelecehan terhadap perempuan, gelisah karena selalu menjadi obyek penderita segala krisis, gelisah karena peranannya masih hanya “dilirik” saja dan kurang dipandang secara utuh (bahasa DPR: Perempuan statusnya cuma “dijatah” demi memenuhi quota, dan bukan sebagai primaeksistensial perempuan dalam kehidupan) ….. dan masih banyak obyek kegelisahan lainnya.

Seperti Maria gelisah ketika ia dan Yesus melihat tetangganya kehabisan anggur dalam peristiwa di Kana. Mereka langsung berbuat menyelamatkan dengan mengubah air menjadi minuman anggur yang lebih lezat (Yoh 2:1-11). Semangat perempuan beriman seperti Santa Anna, Ruth, Hanna, Maria yang lain, dan sekarang diaktualisasikan oleh perempuan pejuang jaman ini, kiranya cukup untuk dilanjutkan oleh anggota Wanita Katolik RI, baik sebagai perorangan maupun organisasi.

Kekhususan Wanita Katolik jelas, bergerak di lapangan sosial kemasyarakatan yang luas. Iman tetap menjadi inspirasi, Roh Kristus yang bekerja di dunia ini adalah spiritualitasnya, berdoa dan beribadat tetap menjadi ungkapan iman. Berkumpul bukan demi berdoa dan beribadat …. apalagi … arisan, itu semua bagus, tetapi bukan tujuan utama organisasi. Kegiatan arisan tidak perlu memakai visi dan misi, aktivitas peribadatan tidak membutuhkan kepengurusan struktural dari pusat sampai daerah. Kalau Wanita Katolik yang mengemuka seperti itu, lalu apa bedanya dengan kumpulan ibu-ibu yang kadang berdoa bersama? Harusnya beda dong!  Wanita Katolik diorganisir secara struktural, berbadan hukum yang mengesahkan kiprah sosialnya, ber-visi jelas demi pencapaian cita-cita, punya KTA dengan persyaratannya, dan bergabung dalam ormas lain setara-sejajar. Kalau pertemuan Wanita Katolik setiap bulannya tidak berubah kearah kesejatian ormas, maka jangan cemberut jika WK diartikan sebagai “Wanita Kwek-kwek” karena ramai bersahutan, atau sebagai “Woro Kawuri” karena anggotanya banyak yang sudah sepuh dan darah segarnya berkurang. Meski ada anggota yang sudah diambang “manula”, Wanita Katolik harus tetap eksis dan berfungsi.

Kelesuan sebuah organisasi apapun juga barangkali karena tidak pernah belajar lagi tentang visi dan misi ormasnya. Lupa, atau tanpa visi-misi, ormas akan asal jalan saja. Padahal visi-misi merupakan impian, cita-cita, goal, arah yang hendak dicapai. Barangkali jajaran pengurus Wanita Katolik RI Ungaran perlu menyegarkan diri dengan melihat kembali perjalanan yang sudah ditempuh, up and down-nya, tantangan-tantangannya dengan pelbagai instrumen seperti Visi-Misi, Ajaran Sosial Gereja, Dokumen-dokumen kegerejaan maupun kemasyarakatan yang memberi inspirasi perjuangan ormas. Jika pengurus bersedia “membahasakan” dokumen-dokumen sesuai dengan situasi anggotanya, niscaya Wanita Katolik RI akan berfungsi sebagai ormas alternatif yang diperhitungkan karena menjadi pendorong, pelaku, pengarah, penggerak kaum perempuan yang sarat dengan pengalaman “krisis dan sutris” di pelbagai sudut kehidupan rumah tangga maupun masyarakat.

Semoga.

AG. Hardjono (Katekis “Jalanan”)

Tinggalkan komentar